Bisnis dalam Persepektif Islam
AYAT DAN HADITS EKONOMI TENTANG
ETIKA DAN ADAB DALAM BEREKONOMI
Oleh: Teuku Umar Johan | Ekonomi Syariah UMM | 201310510311020
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna
yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan
perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta
yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan
dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia
yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk
dipertanggungjawabkan.
Ketika kita berbicara masalah ekonomi berarti kita
berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Kita melakukan
kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun pada dasarnya ketika
kita melakukan kegiatan ekonomi kita perlu mengetahui apa saja batasan-batasan
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini ialah bagaimana
sebuah etika dan adab dalam berekonomi yang sudah didasarkan pada ayat – ayat
al – quran dan hadits?
1.3 Tujuan
Agar kita para pelaku ekonomi mengerti
akan sebuah etika dan adab yang benar dalam melakukan aktivitas ekonomi yang
mana etika dan adab tersebut sudah terkonsep dalam ayat al – quran dan
diperjelas lagi dalam hadits.
II. PEMBAHASAN
2.1
Pemahaman Tentang Etika
Etika adalah acuan dalam melaksanakan kegiatan. Etika bisnis adalah studi
yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi
pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan
perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Sebuah
hal yang membedakan antara islam dengan materialisme yakni bahwa islam tidak
pernah memisahkan antara ekonomi dengan sebuah etika, sebagaimana islam yang
tidak pernah memisahkan antara ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang
dengan etika, dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan islam. Islam
merupakan sebuah risalah yang ditrurunkan Allah SWT melalui rasul untuk
membenahi akhlak manusia. Nabi saw. Bersabda, ”sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulai.”
Islam
tidak memisahkan agama dengan negara dan menteri dengan spiritual sebagaimana
yang dilakukan oleh negara – negara di eropa dengan konsep sekularismenya.
Islam juga berbeda konsep dengan kapitalisme yang memisahkan antara akhlak
dengan ekonomi.
Manusia
muslim, individu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau bisnis pada satu sisi diberi kebebasan untuk
mencari keuntungan sebesar – besarnya. Namun, disisi lain, ia terikat dengan
iman dan etika sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya
atau membelanjakan hartanya.
Masyarakat
muslim tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumber daya
alam,mendistribusikannya, atau mengkonsumsikannya. Ia terikat dengan buhul akidah
dan etika mulia, disamping dengan hukum – hukum islam. Sebagai contoh berikut
ini yang menggambarkan sebuah etika yang ada pada aturan islam[1] :
Berternak
dan menjual babi bagi nonmuslim merupakan pekerjaan yang mendatangakan
keuntungan besar. Tetapi Allah menharamkan umat islam untuk berternak babi
ataupun menjualnya kepada siapa saja. Alasannya, yang diharamkan untuk dimakan,
haram juga diternakkan ataupun dijual. Penjualan patung juga mendatangkan
keuntungan yang sangat besar bagi para pengerajin maupun perusahaan yang
berbisnis dalam bidang tersebut. Namun sekali lagi, islam lebih memperhatikan
kerusakannya daripada keuntungan yang secara cepat dapat diraih. Said bin Abil
Hasan meriwayatkan sebuah kisah:
كُنتُ عِندَ اَبنِ عَبَّاسٍ إِذجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ :
يَابنَ عَبَّاسٍ :أنَا رَجُلٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِن صُنعَةِ يَدِي, وَإِنِّي
أَصنَعُ
هَدِهِ التَّصَاوِيرَ,فَقَالَ ابنُ عَبَّسٍ : لاَ أُ حَدِّثُكَ
إِلاَّمَاسَمِعتُ مِن رَسُولِ اللّه : سَمِعتُهُ يَقُولُ : مَن
صَوَّرَصُورَةًفَإِنَّ
الله يُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنفُحُ فِيهَاالرُّوحَ , وَلَيسَ
بِنَافِخٍ فِيهَاأبَدً) فَرَبَاالرَّجُلُ رَبوَةَ شَدَّةٍ , فَقَالَ ابنَ عَبَّاسٍ
: وَيحَكَ!
إن أبَيتَ إلاَّ أن تَصنَعَ, فَعَلَيكَ بِهَذَاالشَّجَرِ :
وَ كُلِّ شَىءٍلَيسَ فِيهِ رُوخٌ
“Ketika
saya bersama Ibnu Abbas, datang seorang dan berkata, ‘Ya Ibnu Abbas, saya
lelaki yang hidup dari kerajinan tangan saya. Saya seorang pelukis lukisan –
lukisan ini. ’Ibnu Abbas berkata, ‘Saya tidak berkata kecuali apa yang saya
dengar dari Nabi. Saya mendengar beliau bersabda, ‘barang siapa yang menggambar
sebuah benda, Allah akan mengazabnya sampai ia bias meniupkan nyawa kepada yang
digambarnya itu, sedangkan tidak ada satupun orang diantara kita yang mampu
melakukannya. ‘Maka lelaki itu marah marah daan merasa kesal. Lalu Ibnu Abbas
berkata, ‘celakalah kamu! Mengapa kamu menafikan akibat dari apa yang kamu
kerjakan. Maka gambarlah pohon ini atau apa saja yang tidak ada nyawanya.” (HR.
Muttafaq’alaih; Lu’lu wal – Marjan 1369)
Sedangkan
disisi lain pengertian adab ialah norma
atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama, terutama
Agama Islam. Kata adab yang dikenal orang adalah berupa syair, kisah-kisah, dan
yang serupa dengan itu. Tetapi adab menurut para ahli fiqih dan ahli hadits
mempunyai makna dan pengertian yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa pengertian
adab adalah menggunakan perkataan, perbuatan, dan hal ihwal yang bagus. Ada
pula di antara mereka yang mengatakan bahwa adab adalah meninggalkan sesuatu
yang membawa kejelekan (aib). Di samping itu ada yang mengatakan bahwa
pengertian adab adalah menghiasi diri dengan hiasan orang-orang yang memiliki
keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah tidak bermaksiat kepada
Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang mengatakan bahwa adab berarti
takwa kepada Allah. Jadi, orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang
beradab.
Al-Bukhari
telah menyusun kitab tersendiri yang berjudul al- Adab al-Mufrad. Kitab ini
tidak mengikuti kriteria (persyaratan) kitab Shahih-nya. Di dalam kitab al-Adab
al-Mufrad terdapat hadits shahih, hasan, maupun dha'if. Sedangkan kitab Shahih
al- Bukhari yang di dalamnya juga terdapat kitab (bab) al-Adab, semua haditsnya
shahih berdasarkan persyaratan al-Bukhari. Untuk keshahihan suatu hadits,
al-Bukhari membuat persyarat-persyaratan yang sulit (ketat), sehingga hadits
al-Bukhari merupakan perkataan yang paling shahih setelah Kitabullah.
2.2 Prinsip-prinsip Etika
Berkaitan dengan etika, Al – Ghazali, tt,
Qardawi (1997), (Chapra, 2001) mengemumakan prinsip etika berkaitan dengan
dasar – dasar yang dapat dijadikan pegangan agar kegiatan ekonomi berjalan
sesuai kodrat dan aturan yang ada. Prinsip – prinsip itu antara lain adalah :
(1)
Prinsip otonomi : sikap dan kemampuan
manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang
dianggapnya baik untukdilakukan. Untuk bertindak secara otonom, semestinya ada
kebebasan untuk mengambil sebuah keputusan dan bertindak berdasarkan apa yang
sudah diputuskan dengan tanggung jawabnya. Kondisi ini dikarenakan manusia
diberi kemampuan yang dalam terminologi figh disebut al – ahliyah baik dalam
kapasitas ahliyah al –wirjub maupun Al –
ahliyah Al – ada’. Dalam kaitannya dengan sikap otonomi, sikap tanggung
jawab penting karena :
(a)
Kesediaan untuk melakukan apa yang harus
dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti sikap seseorang
terhadap tugas yang membebani instansi atau dirinya. Ia merasa terikat untuk
menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.
(b)
Sikap bertanggung jawab lebih tinggi
dari pada tuntutan etika atau peraturan. Etika atau peraturan hanya
mempertanyakan apakah sesuatu boleh apa tidak, sedangkan sikapbertanggung jawab
lebih terkait dengan nila yang diemban atau yang akan dihasilkan.
(c)
Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung
jawab secara prinsip tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa
yang menjadi urusan dan kewajibanya, melainkan merasa bertanggung jawab dimana
saja diperlukan.
(d)Kesediaan
untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberi
pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
(2)
Prinsip kejujuran. Dasar setiap usaha
untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Kejujuran merupakan
kualitas dasar kepribadian moral. Tanpa kejujuran berarti tidak sanggup
mengambil sikap yang lurus. Tanpa sebuah kejujuran, keutamaan moral lainnya
akan hilang. Bersikap jujur terhadap orang lain memiliki dua arti yaitu: [1]
Sikap terbuka dalam pengertian bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita
sendiri dalam sebagai sikap dan tindakan. [2] Sikap wajar atau fair yaitu
memperlakukan orang menurut standar – standar yang diharapkan dan dipergunakan
orang lain terhadap dirinya. Kejujuran dalam ekonomi islam terwujud dalam
berbagai aspek: (1) kejujuran yang terwujud dalam pemenuhan syarat – syarat
perjanjian dan kontrak. (2) Kejujuran yang terwujud dalam penawaran barang dan
jasa dengan mutu yang yang baik, dan (3) kejujuran menyangkut hubungan kerja.
(3)
Prinsip tidak berbuat jahat (non malefience) dan prinsip berbuat baik
(beneficence). Prinsip bersikap baik
bagi orang lain. Dalam wujudnya yang minimal dan pasif, sikap ini menuntut agar
kita tidak berbuat jahat pada orang lain. Prinsip tidak berbuat jahat merupakan
bagian dari sikap jujur, Al – Ghazali memahami arti kejujuran, yaitu tidak rela
terhadap apa yang menimpa temannya kecuali yang ia rela jika hal itu menimpa
dirinya sendiri” (Al – Ghazali, tt:24).
(4)
Prinsip hormat pada diri sendiri, yaitu
tidak etis jika seseorang membiarkan dirinya diperlakukan secara tidak adil,
tidak jujur, ditindas, diperas, dan sebagainya. Konsep ini diinduksikan dari
berbagai aktivitas ekonomi yang cenderung membabi buta dengan konsep dasarnya
mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan nilai – nilai
kemanusian yang mana didalam Al – Qur’an melarang umat muslim saling
menzhalimi, saling merugikan satu sama lain, saling mencaci, memfitnah dan
sebagainya.
(5)
Prinsip Keadilan[2],
Keadilan merupakan norma utama dalam seluruh aspek dunia ekonomi. Hal ini dapat
kita lihat pada pesan al-quran yang menjadikan adil sebagai tujuan agama sama.
kebalikan sifat adil ialah zalim yang mana dilarang oleh allah. Sebagaimana
firman-Nya dalam surat Hud :18 disebutkan :
وَمَن أَظَلَمُ مِمَّنِ آفتَرَى
عَلَى اللهِ كَذِبًا أُولَىكَ يُعرَضُونَ عَلى رَبِّهِم وَيَقُولُ الأَ شهَدُ
هَؤُلَآ ءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِم
ألاَ لَعنَةُ اللهِ عَلَى الظَّلِمِينَ
Artinya : Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat-buat dusta terhadap allah? mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan
mereka dan para saksi (malaikat,nabi-nabi dan anggota-anggota badannya sendiri)
akan berkata : “orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka”.
Ingatlah , kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim. ( Hud :18)
Keadilan merupakan
kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada pihak lain sesuatu yang sudah
semestinya harus diterima oleh pihak lain itu , sehingga setiap orang mendapat
kesempatan untuk melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
Wujud keadilan dalam
ekonomi setidaknya terkait dengan empat hal , yaitu keadilan tukar-menukar,
keadilan distributif, keadilan social, dan keadilan hukum.
Keadilan distributif
merupakan suatu kebijakan tingkah laku masyarakat dan alat penguasaannya untuk
selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata dan
menurut keseleraan sifat. Hasil produksi tidak dibenarkan jika disalurkan pada
satu atau dua daerah saja melainkan harus menyeluruh, sebab daerah lain juga
membutuhkan hal yang serupa.
Keadilan social merupakan
suatu kebijakan tingkah laku manusia di dalm hubungan dengan masyarakat, untuk
senantiasa memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran
dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau Negara.
Keadilan hukum merupakan
kebajikan yang mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk
bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untuk mencapai
kesejahteraan umum.
2.3 PANDUAN RASULULLAH DALAM ETIKA
Rasululah SAW sangat banyak memberikan
petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah:
1.
Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran.
Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan
bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis.
Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu
jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani).
“Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para
pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian
atas.
2.
Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis.
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan
sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam
Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain)
sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari
untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang
lain dengan menjual barang.
3.
Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat
intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan
transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan
melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak
berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang
pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan
memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam
kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan
pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari,
bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak
berkah.
4.
Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah
dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad SawÂ
mengatakan, “Allah merahmatiÂ
seseorang yang ramah dan
toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari
dan Tarmizi).
5.
Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi,
agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad,
“Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi
dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi
agar menarik orang lain untuk membeli).
6.
Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang
membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara
kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain”
(H.R. Muttafaq ‘alaih).
7.
Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan
menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat
menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras
perilaku bisnis semacam itu.
8.
Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam
perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.
Firman Allah: Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
9.
Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada
Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran
mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut
kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10.
Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering
keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh
ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
11.
Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi
kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana
adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial,
seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan
mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi
kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12.
Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya
bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan
sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos
(kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada
produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras.
Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi
hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
13.
Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan
halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi,
dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras,
bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
14.
Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman
Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku
dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15.
Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan
hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera
membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16.
Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum
mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang
kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di
bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R.
Muslim).
17.
Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika
kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah
sebagai orang yang kesetanan(QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya
mengumumkan perang terhadap riba[3].
Riba merupakan kelebihan
yang tidak dibenarkan syariah yang disyaratkan oleh salah satu dari dua orang
yang berakad. Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdatu Al-Qari
mendefinisikan “Riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis
riil.
Definisi secara komrehensif dituangkan oleh Muhammad Al-Hasaini
Taqiyyudin Abi Bakr Ibn dalam kitabnya Kifayatu al-Akhyar “ Riba adalah setiap
nilai tambah (value added) dari setiap pertukaran emas dan perak (uang) serta
seluruh bahan makanan pokok tanpa adanya pengganti yang sepadan dan dibenarkan
oleh syariah.
Riba itu ada dua macam :
nassi’ah dan fadl. Riba nasi’ah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. Riba fadl ialah penukaran suatu barang dengan barang
yang sejenis , tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian , seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi
dan lainnya.
Jadi kita sebagai muslim
yang baik harus paham betul tentang apa saja yang harus kita lakukan dan apa
yang seharusnya kita hindari. Disisi yang lain ada istilah Gharar. Gharar
merupakan sesuatu yang belum pasti , dan ini juga harus kita hindari , karena
merugikan orang lain.
2.4
Pentingnya Etika dalam Dunia Ekonomi
Didalam ekonomi tidak
jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang
berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah
demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah
menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia ekonomi
tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika
ekonomi.
Sebagai bagian dari
masyarakat, tentu ekonomi tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat.
Tata hubungan ekonomi dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa
serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara
sesama pelaku ekonomi maupun etika ekonomi terhadap masyarakat dalam hubungan
langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat
bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang
bersifat interaktif. Hubungan ini
tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang
terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah.
Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika
ekonomi . Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh
tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan
hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya,
ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan,
karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian
yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi
pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh.
Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar
internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat
protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan
kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
2.5 Cara Menciptakan Etika Ekonomi
Dalam menciptakan etika ekonomi, Dalimunthe
(2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu
mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun
dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan
keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan
keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku
bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat
sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
2.
Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility)
Pelaku ekonomi disini dituntut untuk peduli
dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan
jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai
contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat
harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian
terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan,
pemberian latihan keterampilan, dll.
3.
Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah
salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika
bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan
teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan
yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi
informasi dan teknologi.
4.
Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku ekonomi
besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan
besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk
itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang
dalam dunia ekonomi tersebut.
5.
Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan
keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan
keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut
tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6.
Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi,
Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari
sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7.
Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak
wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa
dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi"
serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan
memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan
"komisi"kepada pihak yang terkait.
8.
Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang
"kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan
pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu
berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang
selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang
sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
9.
Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah
ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen
dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis
telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri
maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi
kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur"
satu semi satu.
10.
Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan
Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah
satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua
pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11.
Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan
dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan
untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah.Kebutuhan tenaga dunia bisnis
yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika
dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk
melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian
Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etika berarti
mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis
menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap
kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di
mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih,
tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol
diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain,
etika bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling
menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan
perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika ekonomi adalah menerapkan
aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku ekonomi. Etika
ekonomi menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip
dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa
berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan
ekonomi yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur,
pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan
tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri
untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi[4].
2.6 Manfaat Menerapkan Etika
Misalkan dalam suatu
perusahaan menerapkan etika dalam hal ini adalah kinerja perusahaan yang akan
bertambah baik dengan didukung dengan karyawan/bawahan yang bermoral dan
bertanggungjawab atas sikap dan pekerjaannya serta menaati semua perintah
atasan dengan baik. Dalam zaman
reformasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan
cepat . Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum
secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan
di dalam dunia bisnis sekarang. Adapun manfaat perusahaan dalam menerapkan
etika bisnis. Yaitu:
a)
Perusahaan mendapatkan
kepercayaan dari konsumen.
Perusahaan yang jujur
akan menciptakan konsumen yang loyal. Bahkan konsumen akan merekomendasikan
kepada orang lain untuk menggunakan produk tersebut.
b)
Citra
perusahaan di mata konsumen baik.
Dengan citra yang baik maka
perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat dan produknya pun dapat mengalami
peningkatan penjualan.
c)
Meningkatkan
motivasi pekerja.
Karyawan akan bekerja
dengan giat apabila perusahaan tersebut memiliki citra yang baik dimata
perusahaan.
2.7 Kekaguman Non Muslim Terhadap Etika Ekonomi Islam
Para pakar ekonomi
nonmuslim mengakui keunggulan system ekonomi islam. Menurut mereka, islam telah
sukse menggabungkan etika dan ekonomi, sementara system kapitalis dan sosialis
memisahkan keduanya.
Jack Austri, orang Prancis
dalam bukunya Islam dan Pengembangan Ekonomi mengatakan ,”islam adalah gabungan
antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya
terdapat ikatan sangat erat yang tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan
bahwa orang-orang islam tidak akan menerima ekonomi kapitalis. Ekonomi yang
kekuatannya berdasarkan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah
ekonomi yang berdasarkan etika.”
Brooks mengkritik
kebudayaan barat karena memberikan hasil yang menyedihkan.Ia juga merasa cemas
terhadap ekonomi dewasa ini yang dikuasai oleh nafsu kapitalisme diatas
norma-norma yang hakiki. Islam tidak mengabaikan fakta-fakta ini dan siap
mengantisipasi kebudayaan barat , khususnya system ekonominya. Caranya adalah
dengan memasukkan nilai etika ke dalam ekonomi.
Menurut J. Perth ,
kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal yang baru dalam islam.
Sejak semula islam tidak mengenal pemisahan jasmani dan rohani. Di dalam
sejarah islam, kita menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan etika
dan ekonomi , terutama ketika islam benar-benar dijadikan pedoman utama dalam
kehidupan sehari-hari.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Etika dan adab adalah kata
yang tidak asing untuk di dengar. Dimanapun kita berada kita dituntut untuk
mempunyai etika dan beradab, termasuk juga ketika kita sedang melakukan
kegiatan transaksi atau berekonomi. Islam mengajarkan kita untuk beretika dan beradab
agar kita menjadi insan yang mulia dimata allah dan dilancarkan segala urusan
baik di dunia maupun di akhirat, di dalam Al-quran dan Hadits sudah banyak
dijelaskan mengenai etika dan adab ini, tinggal cara kita mengimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa larangan yang harus kita hindari
seperti ketidak jujuran akan sesuatu, atau bahkan mengambil untung besar tanpa
memikirkan dampaknya, dan masih banyak lagi. Banyak orang tidak mengindahkan
nilai-nila etika dan adab ini, dan itu mencerminkan tipisnya keimanan.
Etika ekonomi adalah
standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap
karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan ekonomi yang etik. Paradigma
etika dan ekonomi adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi
paradigma etika terkait dengan ekonomi atau mensinergikan antara etika dengan
laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik
yang dilandasi oleh etika ekonomi merupakan sebuah competitive advantage yang
sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai
sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustaq.2001.Etika Bisnis dalam Islam.Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Baswir, Revrisond. 2006. Etika Ekonomi
Dalam Kompas Senin.Jakarta: PT Gramedia.
Nawawi, Ismail.2009.Ekonomi
Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan dan
Realitas.Surabaya; CV. Putra Media Nusantara.
Qardawi, Yusuf.1997. Norma Dan Etika Ekonomi Islam.Jakarta;
Gema Insan Press.
[1] Qardawi,
Yusuf.1997. Norma Dan Etika Ekonomi Islam.Jakarta; Gema Insan Press
[2] Nawawi,
Ismail.2009.Ekonomi Kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global
Sebuah Tuntutan dan Realitas.Surabaya; CV. Putra Media Nusantara
[4] Baswir,
Revrisond. 2006. Etika Ekonomi Dalam Kompas Senin.Jakarta: PT Gramedia
0 komentar :
Posting Komentar