Pinjaman ‘Ariyah
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas Fiqh Mu’amalah
Dibimbing oleh:
Moch. Novi Rifa’i. MA
Disusun oleh:
Tk. Umar Johan 201310510311020
Ekonomi Syariah-FAI-UMM 2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat manusia bahwa hidup di dunia ini selalu hidup berkelompok-kelompok, dengan demikian manusia tidak lepas dari yang namanya tolong-menolong, berbagi dan saling melengkapi satu sama lain, karena kita hidup di dunia ini saling membutuhkan. Realita dunia sekarang ini, manusia bekerja siang dan malam untuk mencari kesenangan dan keselarasan hidup. Sudah menjadi lumrah bahwa manusia ingin mendambakan kehidupan yang serba mewah dengan mobil, rumah, memiliki aksesoris yang mahal dan sebagainya. Dengan begitu rata-rata untuk memenuhi kebutuhan itu, masyarakat menengah kebawah bahkan yang menengah keatas sering melakukan pinjaman(‘ariyah) kepada orang atau instansi-instansi tertentu untuk menikmati taraf hidup yang lebih setara seperti yang kami sebutkan tadi. Sebagai umat muslim perlu kiranya kita mengetahui tata cara peminjaman (‘ariyah) menurut pandangan Islam. Maka sebab itulah kami sebagai penyusun akan menjelasakan bagaimana konsep pinjaman (‘ariyah) itu menurut pandangan islam beserta ruang lingkupnya ?, dengan demikian penyusun berharap pembaca agar lebih mudah memahami makalah mengenai konsep peminjaman (‘ariyah), sehingga kita nantinya bisa menerapkan dan tidak bingung lagi bagaimana tata cara penerapan peminjaman (‘ariyah) menurut pandangan islam di tengah-tengah masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masaalah konsep pinjaman (‘ariyah) dapat kami rangkum mengenai berikut ini:
1. Pengertian ‘ariyah.
2. Dasar hukum ‘ariyah.
3. Rukun dan syarat ‘ariyah.
4. Pembayaran pinjaman.
5. Tata krama berutang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Ariyah
Secara etimologi, ‘ariyah adalah أَ لْعَا رِ ىَة di ambil dari kata عَا رَ yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata “at-ta’awur” yang sama artinya dengan “saling menukar dan mengganti” yakni dalam tradisi pinjam meminjam.[1] Sedangkan menurut istilah pinjaman (‘ariyah) adalah memberikan manfaat suatu yang halal kepada orang lain untuk di ambil manfaatnya dengan tidak merusak satnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.
Tiap-tiap yang mungkin di ambil manfaatya dengan tidak merusakan zat barang itu, boleh di pinjam atau di pinjamkan. Adapun beberapa pendapat mengenai ‘ariyah yaitu sebagai berikut.
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah: “Memiliki manfaat secara cuma-Cuma.”
2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah: “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
3. Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah iyalah:“Kebolehan mengambil manfaat dari seorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanabilah, ‘ariyah ialah: “Kebolehan mengambil manfaat suatu zat barang tanpa imbalan dan peminjam atau yang lainnya.”
5. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah iyalah: “Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta zatnya supaya dapat dikembalikan.”
6. Menurut al-mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah: “Memberikan manfaat-manfaat.”
7. ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti.[2]
8. Sedangkan M. Ali Hasan memberi definisi ‘ariyah yaitu: “Memilikan manfaat tanpa ganti rugi.”[3]
9. MA. Tihami mengemukakan, bahwa ‘ariyah ialah kebolehan mengambil manfaat sesaat terhadap sesuatu yang diizinkan untuk diambil manfaatnya, sedangkan sesuatu benda yang diambil manfaatnya itu tetap utuh keadaanya atau wujud sesuatu itu memang dapat (secara utuh) dikembalikan, kecuali sesuatu yang tidak bisa dikembalikan akibat di ambil manfaatnya itu.[4]
Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli di atas, kiranya dapat dipahami meskipun redaksinya yang berbeda, namun materi permasaalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut sama. Dapat di kemukakan bahwa pinjam-meminjam merupakan perjanjian timbal balik dan pinjam meminjam dalam saryiat islam dapat ditemukan dalam pasal 1740 kitab undang-undang hukum perdata. Dalam pasal tersebut di nyatakan, pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan memberikan suatu barang kepada pihak lain untuk dipakai dengan cuma-cuma. Denga syarat setelah menerima dan memakai barang, dalam jangka waktu yang tertentu harus mengembalikannya.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Sebagaimana mana dimaklumi bahwa, ‘ariyah merupakan sarana tolong-menolong antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Bahkan, tidak menutup kemungkinan antara orang yang sama-sama mampu pun terjadi adanya ‘ariyah (pinjam-meminjam ini). Adapun landasan hukum dari nash Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah: 2 sebagai berikut ini:
...وَ تَعَاوَنُواْعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى ولاَتَعَاوَنُوْاعَلَى الإْثْمِ وَالْعُدْوَانْ وَاتَّقُواللهَ إنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ
Artinya:...Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Berdasarkan ayat ini, maka memberikan pinjaman (‘ariyah) kepada orang yang mem ubutuhkan merupakan ibadah yang membuahkan pahala, karena ia masuk ke dalam keumuman tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
Mazhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ubaidilah bin Hasan al-Karkhi berpendapat, bahwa aqad ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut, sehingga pemanfaatannya terbatas pada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain. Namun semua ulama sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain.
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Seperti terjadi pada beberapa transaksi dalam Islam, maka dalam masalah ‘ariyah pun terdapat rukun dan syarat dalam melakukan pinjam-meminjam ini. Jumhur ulama mengatakan, bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu sebagai berikut.
1. Orang yang meminjamkan.
2. Orang yang meminjam.
3. Barang yang dipinjam.
4. Lafaz pinjaman (shighat).[5]
Pihak yang meminjam disyaratkan agar memenuhi kriteria-kriteria berikut ini.
a) . Bahwa ia berhak atas barang yang dipinjamkannya itu.
b) . Barang tersebut dapat dimanfaatkan, sebab pinjam-meminjam hanya menyangkut kemanfaatan sesuatu benda (pemanfaatan sesuatu benda hanya sebatas yang di bolehkan dalam syariat islam).
c) . Tidak boleh meminjamkan barang pinjamannya kepada orang lain, kecuali suda ada persetujuan dari pihak pertama (yang punya barang ).
Sedangkan menyangkut peminjam di syaratkan harus orang yang cakap bertindak(berhak) sebab perjanjian pinjam-meminjam hanya dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak adalah tidak sah.
Menyangkut barang yang dipinjam haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a) barang tersebut barang yang bermanfaat.
b) Barang tersebut tidak musnah karena pengembalian manfaat barang tersebut ( tidak musnah karena pemakaian).
Sedangkan mengenai lafaz, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam-meminjam tesebut. Namun demikian, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam-meminjam tersebut sah kalaupun dengan lafal.
Kewajiban pinjam meminjam
Barang siapa meminjam sesuatu barang dari pihak lain, maka hendaklah peminjam menjaga dan memelihara barang pinjaman tersebut sebagai seorang bapak rumah yang baik. Maksudnya peminjam mempunyai tanggung jawab penuh atas barang tersebut. Jika barang hilang atau mengalami kerusakan, peminjam berkewajiban untuk mengganti barang tersebut. Ketentuan tentang hal itu dapat di jumpai dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ahmad dan nasa’i yang berbunyi”Dari shafwan bin umaiyah; Sesungguhnya Nabi telah meminjam beberapa baju perang dari shfwan pada waktu peperangan Hunain ! Shafwan bertanya kepada rasullullah SAW: “Paksaankah ya muhammad?, Jawab Rasullullah: bukan tetapi pinjaman yang di jamin. Kemudian hilang sebagian, maka rasullullah saw. mengemukakan kepada Shafwan bahwa akan digantinya. Shafwan berkata: Sayab sekarang telah mendapatkan kepuasan dalam islam.” (Sulaiman Rasyid, 1990:304).
D. Pembayaran Pinjaman
Selain berkewajiban menjaga dan memelihara barang pinjaman, peminjam juga berkewajiban untuk mengembalikan yang dipinjam kepada pihak yang meminjam sesuai dengan yang diperjanjikan. Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada orang yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib di bayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasullullah Saw. Bersabda:
مَطَلُ الغَنِيِّ ظُلْم ٌفَإِ زَاأُتْبِعَ أَحَدُ كُمْ عَلَى مَلِيِّ فَلْيَتَّبِعْ (رواه البخاريّ ومسلمٌ)
Artinya: “Menunda Pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman, dan jikalah sala seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/kaya maka terimalah hiwalah itu.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadis diatas juga berlaku bagi orang (majikan), yakni bila memperkerjakan buruh, maka tidak boleh melalaikan pembayaran upah buru tersebut, karena termasuk orang yang menzalimi. Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman di perbolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan yang berutang. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasullulah Saw. Bersabda:
فِإ نَّ مِنْ خِيَا رِكُمْ أحْسَنُكُمْ قَضَاءٌ(رواه البخاريّ ومسلمٌ)
Artinya: “Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan yang meminjamkan tidak berhalangan bila ingin mengembalikan atau meminta kembali pinjaman, sebab ‘ariyah adalah akad yang tidak tetap, kecuali ada faktor tertentu sehingga tidak bisa dikembalikannya barang itu sebelum habis masa perjanjian. Ringkasnya, keduanya kedua boleh memutuskan akad, asal tidak merugikan salah seorang diantara keduanya.
F. Tata Krama Berutang
Terdapat beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nialai-nilai sopan santun yang terikat di dalamnya, sebagi berikut.
1. Sejalan dengan petunjuk dalam surah Al-Baqarah: 282, bahwa utang piutang harus dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang, disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki, dan dua orang saksi wanita. Dewasa ini, tulisan tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermateri. Hal ini supaya tidak terjadi saling mengelak di kemudian hari
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak, disertai dengan niat dalam hati akan membayar mengembalikannya dikala tela mempunyai uang.
3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikannya, maka yang berpiutang hendaknya memberikan tenggang waktu yang lama atau kalau perlu dapat membebaskannya.
4. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayaran utangnya, karena bila lalai dalam membayar pinjaman berarti berbuat zalim.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraiyan makalah diatas maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa ‘Ariyah (pinjaman) adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Apabila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ’Ariyah. Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul) atau lafaz pinjaman (shighat), orang yang meminjam, barang yang dipijamkan.serta orang yang meminjamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrani, Sohari dan Ru’fah A. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia
suhardi, k.lubis. 2004. hukum ekonomi islam. jakarta: sinar grafikaan
Suhendi, Hendi. 2005. Fikih Muamalat. Jakarta: Rajawali Press.
Hasan, M. Ali.2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam., Jakarta: Rajawali Press.
Tihami. MA. 2003. Kamus istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani. Serang: Suhud Sentra Utama.
[1] Rahmat Syafi’i, Fikih Muamalat, (Bandug: Pustaka Setia, 2006), hlm. 130
[2] Hendi Suhendi, Fikih Muamalat, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm.91-92.
[3] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm.239.
[4] MA. Tihami, Kamus istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, (Serang: Suhud Sentra Utama, 2003), hlm. 7-8.
[5] M. Al;I Hasan, Op. Cit, hlm. 243.
[6] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 97-98
0 komentar :
Posting Komentar